
Menkomdigi: AI Harus Cerminkan Keberagaman Dunia
Penulis: Alfin
TVRINews, Dubai
Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, Meutya Hafid, menegaskan bahwa masa depan kecerdasan buatan (AI) bukanlah hak eksklusif negara tertentu, melainkan warisan bersama seluruh umat manusia. Pernyataan itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam sesi panel “Wanted: AI to Retain and Attract Talents to the Country” di forum teknologi global Machines Can See 2025 yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu, 23 April 2025.
“Teknologi harus mencerminkan keberagaman dunia, bukan hanya prioritas segelintir orang,” ujar Meutya dalam forum tersebut.
Meutya menyoroti posisi strategis Indonesia dari segi demografi, digitalisasi, dan geopolitik. Dengan lebih dari 212 juta pengguna internet aktif dan status sebagai negara berpenduduk keempat terbanyak di dunia, Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian aktif dalam pembentukan masa depan teknologi global yang lebih adil.
Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya kesetaraan akses dan kolaborasi dengan negara-negara BRICS dalam menciptakan ekosistem AI yang bertanggung jawab. Menurutnya, pendekatan bersama itu menitikberatkan pada penguatan perspektif global selatan serta pemanfaatan AI untuk menjawab tantangan nyata masyarakat.
“Inisiatif Indonesia dengan dialog BRICS semakin mencakup isu-isu seperti menjembatani kesenjangan digital, memajukan solusi pedesaan yang cerdas, dan menjaga kedaulatan data, seperti pemantauan bencana berbasis AI, pertanian cerdas, dan diagnostik kesehatan jarak jauh,” jelasnya.
Meutya juga menyoroti tiga aspek utama dalam pemanfaatan AI di Indonesia: pendidikan, ketahanan pangan, dan layanan publik. Pemerintah kini tengah mengembangkan aplikasi AI untuk ketahanan pangan, sistem perlindungan sosial yang akan diluncurkan pada Agustus 2025, serta layanan pemeriksaan kesehatan gratis.
“Keamanan pangan menjadi perhatian Presiden Prabowo, terutama di tengah situasi geopolitik saat ini. Dan juga pendidikan merupakan keyakinan mendasar yang dipegang teguh Indonesia, karena dengan AI, kita percaya bahwa AI tidak hanya itu, mereka yang merancang dan mengatur AI harus lebih pintar dari AI itu sendiri,” kata Meutya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan sembilan juta talenta digital hingga 2030, sebagai bentuk investasi jangka panjang di bidang teknologi.
Di sisi infrastruktur, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghubungkan 17.000 pulau secara merata. Meutya menyebut pemerintah tengah mempersiapkan pelelangan spektrum 2,6 dan 3,5 gigahertz serta memperluas jaringan serat optik dan kabel bawah laut. Pembangunan pusat data nasional berlatensi rendah juga sedang dikembangkan untuk mendukung integrasi AI.
“Ini sebuah kemajuan, tetapi tetap mengingatkan kita tentang skala tantangan untuk membangun konektivitas yang cepat dan andal di 17.000 pulau di Indonesia,” tuturnya.
Meutya turut menyinggung peran diaspora digital. Sekitar delapan juta warga Indonesia tinggal di luar negeri, termasuk 20.000 orang yang bekerja di Silicon Valley. Ia menyebut mereka sebagai bagian dari kekuatan nasional, menyebut istilah brain link sebagai pengganti brain drain.
“Jadi mereka sekarang berkecimpung dalam bidang inovasi perangkat lunak AI, sementara banyak dari mereka mungkin tidak lagi terhubung erat dengan lanskap domestik Indonesia, tetapi kami masih melihat mereka sebagai bagian dari kekuatan nasional kami,” jelasnya.
Dalam semangat inklusivitas, pemerintah juga membangun pusat keunggulan AI di beberapa kota, termasuk Bandung, Surabaya, dan Papua.
“Menjadikan pusat keunggulan AI di Papua sangat penting bagi orang Indonesia untuk menunjukkan bahwa AI, bahwa kami percaya inklusivitas sangat penting ketika kita berbicara tentang AI,” ungkap Meutya.
Forum Machines Can See 2025 menjadi panggung strategis bagi Indonesia untuk menegaskan komitmennya dalam mendorong teknologi yang adil, inklusif, dan mencerminkan keberagaman dunia.
Editor: Redaktur TVRINews
