
Foto: Nur kartini jalanan (TVRINews/Nirmala Hanifah)
Penulis: Nirmala Hanifah
TVRINews, Jakarta
Nama R.A. Kartini selama ini identik dengan sosok perempuan tangguh yang memperjuangkan hak-hak wanita di masa kolonial. Namun, semangat Kartini tidak pernah pudar, bahkan memasuki abad ke-21.
Ia tidak hanya hadir dalam buku sejarah atau setiap peringatan tanggal 21 April, tetapi juga hidup dalam sosok-sosok perempuan masa kini yang mungkin jarang dianggap sebagai simbol perjuangan, salah satunya para pengamen jalanan perempuan.
Di tengah gemerlap dan kemegahan Ibu Kota, masih banyak perempuan yang harus mengais rezeki di sudut-sudut kota di terminal, di bawah lampu lalu lintas, atau di trotoar jalan.
Ketika malam menggulung kota dalam keheningan dan banyak perempuan lain berselimut hangat dalam peraduan, ada perempuan-perempuan lain yang justru mulai menggeliat.
Baca Juga: Dokter Thomas Ungkap Perjuangan Tim Medis di Awal Pandemi COVID-19
Tanpa kebaya atau orasi tentang emansipasi, langkah mereka adalah bentuk nyata dari perjuangan seorang Kartini masa kini.
Mereka tidak mengenal jam kerja tetap, tidak memiliki ruang kerja yang nyaman, dan tak pernah tahu pasti berapa rupiah yang akan mereka bawa pulang esok hari.
Salah satu dari mereka adalah Nur, seorang ibu dari tiga anak yang mengamen di jalanan Jakarta dari petang hingga dini hari.
Bermodalkan gerobak kecil dan perangkat pengeras suara, Nur menyusuri ruas-ruas jalan Ibu Kota demi menyambung hidup.
“Tidak masalah, yang penting anak-anak bisa makan dan jajan. Saya bekerja seperti ini tidak apa-apa,” ujar Nur kepada tvrinews.com.
Warga Depok, Jawa Barat, itu bahkan rela menantang dinginnya malam demi membawa pulang sedikit penghasilan untuk keluarganya.
“Kalau dibilang takut, ya takut tidak takut. Demi keluarga, buat makan, selama pekerjaan itu halal akan saya lakukan,” ucapnya, tegar.
Meski penghasilannya tidak menentu, apalagi saat hujan mengguyur dan orang-orang enggan membuka jendela mobil, Nur tetap berusaha. Dalam sehari, jika beruntung, ia bisa mendapatkan sekitar Rp100.000, itupun sudah termasuk untuk setoran.
“Setidaknya cukup buat ongkos. Kalau rezekinya bagus, bisa bawa pulang seratus ribu,” tuturnya.
Di tengah perjuangan berat itu, Nur tidak lupa menyampaikan pesan untuk perempuan lain yang juga sedang berjuang.
“Buat perempuan-perempuan, jangan menyerah. Untuk keluarga, kita harus semangat demi anak-anak. Walaupun pekerjaannya apa saja, yang penting anak-anak bisa makan, bisa jajan,” pungkasnya.
Para perempuan pengamen ini adalah representasi nyata Kartini masa kini, melawan stereotip, menunjukkan bahwa perempuan bisa mandiri, kuat, dan tidak sepenuhnya bergantung pada orang lain.
Mereka mungkin tak dikenal dunia, tak menulis surat-surat panjang seperti Kartini, namun keberanian mereka menghadapi kerasnya hidup adalah wujud nyata semangat Kartini yang sesungguhnya.
Karena menjadi Kartini bukan soal gelar atau nama besar, melainkan keberanian untuk terus melangkah, meski harus ditempuh di atas jalanan kota yang panas, bising, dan penuh tantangan.
Editor: Redaktur TVRINews