
Indonesia Peringkat Kedua Dunia dalam Kasus TBC, Ini Penyebab Utamanya
Penulis: Lidya Thalia.S
TVRINews, Jakarta
Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak kedua di dunia, setelah India. Berdasarkan data terbaru, Indonesia mencatat sekitar 1.090.000 kasus TBC dengan angka kematian mencapai 125 ribu jiwa.
Sementara itu, India masih menduduki peringkat pertama dengan 2,8 juta kasus dan 315 ribu kematian, disusul oleh Tiongkok yang mencatat 741 ribu kasus dengan 25 ribu kematian.
Menurut spesialis paru, Erlang Samoedro, tingginya jumlah kasus TBC di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Salah satunya adalah masalah gizi yang kurang baik serta tingginya angka stunting di masyarakat.
“Status gizi yang rendah membuat daya tahan tubuh melemah, sehingga lebih mudah tertular TBC,”ujar Erlang dalam keterangan tertulis, Rabu, 28 Mei 2025.
Selain itu, komorbiditas atau penyakit penyerta seperti HIV dan diabetes yang belum tertangani secara optimal turut meningkatkan risiko penularan TBC. Pasien dengan kondisi tersebut lebih rentan terinfeksi.
“Orang dengan komorbid memang lebih rentan terinfeksi TB. Lalu, karena kepadatan penduduk di Indonesia cukup tinggi, maka transmisi penyakit ini juga terjadi lebih cepat,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa dengan tingkat penyebaran yang meluas, TBC telah menjadi penyakit endemik di Indonesia. Artinya, TBC tidak hanya menyerang kelompok tertentu, tetapi sudah menyebar di berbagai lapisan masyarakat.
Mengenai upaya pengendalian TBC, dr Erlang juga menyoroti pentingnya vaksin TBC M72 yang kini tengah menjalani uji klinis fase 3. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang turut serta dalam tahap uji klinis ini.
Ia menegaskan bahwa meskipun masih ada keraguan dari sebagian masyarakat, vaksin yang nantinya digunakan telah melalui serangkaian uji keamanan dan efektivitas yang ketat.
“Vaksin tidak akan diberikan kepada masyarakat sebelum terbukti aman. Kalaupun ada efek samping, hal tersebut akan langsung ditangani sesuai protokol yang ada,” jelas Erlang.
Ia menambahkan bahwa setiap kejadian tak terduga selama uji klinis akan menjadi perhatian serius. Bila diperlukan, proses uji klinis bahkan bisa langsung dihentikan demi keselamatan peserta.
“Peneliti bertanggung jawab atas seluruh kemungkinan, termasuk jika muncul alergi atau efek lain di luar dugaan. Karena itu masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan,” tutupnya.
Baca Juga: Bamsoet Dukung GovTech Prabowo untuk Pemerintahan Digital Transparan
Editor: Redaktur TVRINews
