
Aksi Massa di Kawasan Industri Dinilai Ganggu Stabilitas, Pakar Minta Pemerintah Ambil Sikap Tegas
Penulis: Christhoper Natanael Raja
TVRINews, Bekasi
Rencana aksi lanjutan yang disuarakan oleh sekelompok buruh di salah satu pabrik kawasan industri Bekasi, Jawa Barat, kembali menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha.
Selebaran ajakan aksi mulai beredar di lingkungan pabrik, memicu kekhawatiran akan terganggunya kegiatan produksi dan distribusi.
Aksi yang berlangsung secara berulang di kawasan tersebut dinilai berdampak pada persepsi Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang stabil dan kompetitif.
Para pelaku usaha khawatir bahwa ketidakpastian ini akan mendorong investor untuk mempertimbangkan relokasi ke negara lain yang dinilai lebih kondusif.
Pengamat hubungan internasional dan investasi Zenzia SianicaIhza menilai kawasan industri strategis seharusnya dilindungi dari potensi gangguan, mengingat perannya yang terhubung langsung dengan rantai pasok global.
Menurutnya, jika kawasan ini terus dijadikan titik demonstrasi, maka akan muncul keraguan dari investor terhadap kepastian hukum dan operasional di Indonesia.
“Lingkungan industri yang stabil adalah salah satu faktor utama dalam menarik dan mempertahankan investasi jangka panjang,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Sabtu, 21 Juni 2025.
Berdasarkan catatan internal, perusahaan manufaktur terkait sempat mengalami kerugian hingga puluhan miliar rupiah akibat terhentinya operasional selama beberapa hari kerja karena aksi sebelumnya.
Kerugian tersebut mencakup penurunan output, keterlambatan pengiriman, serta potensi hilangnya kepercayaan dari mitra dagang di luar negeri.
Situasi ini juga mulai berdampak pada persepsi global. Beberapa investor dilaporkan mempertimbangkan untuk memindahkan fasilitas produksinya ke negara tetangga yang dinilai lebih stabil dari sisi hukum dan kebijakan ketenagakerjaan.
Pengamat tersebut mendorong pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menjaga stabilitas kawasan industri.
Ia menekankan pentingnya regulasi yang tegas untuk membatasi kegiatan massa di wilayah objek vital nasional serta memperkuat mekanisme penyelesaian perselisihan yang adil dan transparan.
Dirinya juga menyoroti peran aparat keamanan yang diharapkan lebih proaktif dalam mencegah gangguan ketertiban di lokasi strategis.
“Langkah preventif perlu diambil sejak awal, bukan hanya mengamankan saat aksi berlangsung,” ucap Zenzia.
Aksi penyampaian pendapat di ruang publik diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Dalam regulasi tersebut, terdapat larangan melakukan unjuk rasa di lokasi tertentu seperti istana negara, rumah sakit, fasilitas transportasi, tempat ibadah, instalasi militer, serta objek vital nasional.
Selain itu, kegiatan demonstrasi wajib memperoleh izin dari kepolisian, dan apabila dilaksanakan di lokasi atau waktu yang tidak diperbolehkan, maka dapat dinyatakan sebagai aksi ilegal.
Aksi buruh ini bermula dari pemutusan hubungan kerja terhadap dua pengurus serikat pekerja di salah satu pabrik.
Kelompok buruh menilai pemutusan tersebut sebagai upaya sistematis melemahkan serikat pekerja. Isu tersebut kemudian memicu gelombang solidaritas yang berlangsung di depan area pabrik dalam beberapa gelombang.
Pihak perusahaan membantah tudingan tersebut. Dalam pernyataannya, manajemen menyebut bahwa keputusan diambil berdasarkan pelanggaran kedisiplinan yang telah diproses sesuai dengan ketentuan hukum dan perjanjian kerja yang berlaku.
Saat ini, perselisihan antara kedua pihak tengah dalam proses penyelesaian melalui jalur hukum dan telah terdaftar di lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Meski proses hukum sedang berjalan, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa tensi belum sepenuhnya mereda.
Beberapa sumber internal menyebut bahwa manajemen tengah mempersiapkan skenario darurat jika aksi kembali berdampak pada kegiatan operasional.
Editor: Redaktur TVRINews
