
Tongkonan Kete Kesu, Jejak Sejarah dan Kearifan Leluhur Toraja
Penulis: Ricardo Julio
TVRINews, Toraja
Kete Kesu, salah satu destinasi budaya ikonik di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, destinasi tersebut juga menjadi bukti nyata sejarah panjang dan struktur sosial masyarakat Toraja yang kaya makna.
Meski tidak ada catatan pasti mengenai tahun pembangunannya, para tetua adat menyampaikan bahwa setiap tongkonan memiliki sejarah dan umur yang berbeda-beda, dengan beberapa di antaranya diyakini lebih tua dari bangunan lainnya.
Tongkonan merupakan rumah warisan leluhur yang memiliki fungsi sosial dan spiritual dalam komunitas. Salah satu tokoh masyarakat, Baso Kete Kesu turut memberikan penjelasan bahwa dulunya di wilayah Gesu, pimpinan adat atau parengi berkumpul di satu titik.
"Parengi itu pimpinan dalam satu wilayah. Dulu di Gesu, namanya Pengopan Imbang. Tongkonan milik saudara-saudaranya dikumpulkan di sini agar mudah berkomunikasi," ujarnya kepada tvrinews.com pada Selasa, 29 Juli 2025.
Menurutnya, meskipun setiap rumah memiliki pemimpin berbeda, secara garis keturunan semuanya masih merupakan satu keluarga besar. Bahkan, salah satu rumah dulunya difungsikan sebagai pusat konsumsi, atau dalam bahasa Toraja disebut Tuhindo, tempat makanan dan logistik disiapkan untuk keperluan bersama, terutama dalam upacara adat. Namun seiring berjalannya waktu dan perubahan sistem pemerintahan setelah Indonesia menjadi republik, jabatan parengi pun mulai hilang.
Berbeda dari rumah tinggal biasa, tongkonan tidak bisa serta-merta disebut sebagai rumah keluarga. “Tongkonan itu bukan rumah keluarga biasa, tapi warisan leluhur. Jadi mau dibilang tempat tinggal keluarga, juga tidak begitu,” lanjutnya.
Keunikan lain dari tongkonan Kete Kesu terlihat dari ukiran-ukiran khas yang menghiasi setiap bagian rumah. Penempatan ukiran ini tidak sembarangan. Setiap simbol memiliki makna tersendiri dan berkaitan erat dengan status sosial atau jabatan pemilik rumah.
Tak kalah penting, simbol ayam juga memiliki peran sentral. Ukiran ayam selalu ditempatkan di bagian atas tongkonan. Hal ini bukan tanpa alasan. “Dulu ayam itu dianggap sebagai hakim dalam budaya Toraja. Jika ada sengketa yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka penyelesaiannya lewat ayam,” jelasnya.
Tradisi ini menggambarkan betapa adat Toraja memiliki sistem penyelesaian masalah yang unik jauh sebelum adanya lembaga peradilan formal.
Dengan segala keunikannya, Tongkonan di Kete Kesu menjadi saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat Toraja, sekaligus lambang kekayaan budaya yang terus dijaga hingga kini.
Editor: Redaksi TVRINews