
Pengamat Maritim Ingatkan Risiko Kebakaran EV di Kapal Feri Jelang Libur Nataru
Penulis: Christhoper Natanael Raja
TVRINews, Jakarta
Menjelang libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) arus penumpang transportasi laut diperkirakan kembali melonjak di berbagai pelabuhan utama Indonesia.
Lonjakan mobilitas masyarakat untuk mudik dan berwisata membuat pelabuhan menjadi titik krusial dengan tingkat risiko keselamatan yang meningkat.
Pengamat maritim Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengingatkan agar keselamatan penumpang menjadi prioritas utama seluruh pemangku kepentingan.
Ia menegaskan tingginya kepadatan penumpang di musim liburan tidak boleh diimbangi dengan kompromi terhadap standar keselamatan.
“Momen Nataru selalu membawa lonjakan besar penumpang di pelabuhan. Risiko meningkat, dan di titik inilah negara harus hadir dengan standar keselamatan yang tidak bisa ditawar,” ujar Capt. Hakeng kepada tvrinews.com, Minggu, 21 Desember 2025.
Ia menekankan perjalanan laut bukan sekadar mobilitas antarpulau, tetapi menyangkut kedisiplinan dan kesadaran kolektif.
Menurutnya, manifes penumpang yang akurat, briefing keselamatan yang dipahami, serta kesiapan jalur evakuasi adalah syarat minimum agar lonjakan arus tidak berubah menjadi tragedi.
Salah satu isu krusial menjelang Nataru adalah kebijakan pelarangan sementara mobil listrik naik kapal feri. Kebijakan ini memicu perdebatan, namun Capt. Hakeng menilai langkah tersebut tepat dan rasional.
“Ini bukan sikap anti-teknologi. Pelarangan mobil listrik di kapal feri adalah keputusan berbasis sains dan keselamatan publik,” ucap Capt. Hakeng.
Ia menjelaskan baterai lithium-ion pada kendaraan listrik menyimpan energi sangat tinggi dan berisiko mengalami thermal runaway.
Kondisi ini dapat memicu panas ekstrem, ledakan kecil, serta kebakaran yang sulit dipadamkan. Berbeda dengan kebakaran kendaraan konvensional, api dari baterai lithium-ion tidak efektif ditangani dengan air, busa, maupun CO2.
Dalam konteks kapal feri, risiko tersebut jauh lebih besar karena ruang terbatas, ventilasi minim, dan jalur evakuasi yang sempit serta padat penumpang.
Capt. Hakeng menyinggung sejumlah insiden internasional, seperti kebakaran kapal Felicity Ace pada 2022 yang melibatkan kendaraan listrik hingga kapal tenggelam, serta kejadian serupa di Norwegia yang melumpuhkan aktivitas pelabuhan selama berjam-jam.
Di Indonesia, insiden serupa juga pernah terjadi, seperti kebakaran mobil listrik di Pelabuhan Merak pada 2023 yang memaksa evakuasi ratusan penumpang, serta kasus motor listrik overheating di Surabaya.
“Kalau di dermaga terbuka saja sulit ditangani, apalagi jika terjadi di geladak kapal yang tertutup dan penuh sesak. Ini ancaman nyata,” kata Capt. Hakeng.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini belum memiliki infrastruktur memadai untuk menangani kebakaran kendaraan listrik di lingkungan maritim.
Mulai dari kontainer isolasi khusus, sistem pendinginan cepat, hingga awak kapal yang terlatih menghadapi skenario thermal runaway.
“Dengan kondisi seperti ini, pelarangan EV bukan pilihan politik, tapi pilihan keselamatan,” tutur Capt. Hakeng.
Capt. Hakeng mendorong penguatan edukasi publik, penegakan manifes penumpang, pembatasan muatan kendaraan, serta pemeriksaan teknis yang ketat di pelabuhan.
Selain itu, ia mendesak pemerintah menerbitkan regulasi teknis yang lebih tegas dan detail, termasuk standar operasional lapangan dan sanksi bagi operator yang melanggar.
Dirinya juga meminta pemerintah pusat dan daerah memperkuat infrastruktur keselamatan di pelabuhan serta memastikan pelatihan awak kapal dilakukan secara serius dan realistis.
“Keselamatan laut adalah bagian dari ketahanan nasional. Nataru bukan sekadar liburan, tapi ujian kedisiplinan kita sebagai bangsa. Tujuannya satu, semua orang pulang dengan selamat,” ujar Capt. Hakeng.
Editor: Redaktur TVRINews
