
Komisi II DPR Warning ATR/BPN: Kinerja Masih Jalan di Tempat!
Penulis: Ridho Dwi Putranto
TVRINews, Jakarta
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyampaikan evaluasi terhadap kinerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam rapat kerja triwulan pertama tahun 2025. Menurutnya, capaian kinerja kementerian tersebut masih jauh dari harapan.
“Kinerja Kementerian ATR/BPN dalam empat bulan pertama ini baru mencapai rata-rata 15 persen, bahkan masih di bawah 30 persen,” ujar Rifqinizamy di Gedung DPR RI, Senayan, Senin, 21 April 2025.
Ia menyebutkan bahwa beberapa program seperti penyelesaian sengketa lahan menunjukkan capaian di atas 20 persen. Namun, terdapat pula sejumlah program yang belum menunjukkan progres sama sekali.
“Beberapa direktorat jenderal belum melakukan kerja apapun selama empat bulan terakhir,” tegasnya.
Rifqinizamy memahami adanya pemangkasan dan refocusing anggaran di kementerian tersebut. Dari anggaran normal sekitar Rp9 triliun, tahun ini hanya tersedia sekitar Rp4 triliun akibat pemblokiran sebagian besar anggaran. Meski demikian, ia menilai rendahnya kinerja tetap patut menjadi perhatian serius.
Di sisi lain, Komisi II juga mengapresiasi keterbukaan Kementerian ATR/BPN dalam menangani pengaduan masyarakat.
“Baru kali ini ada keterbukaan informasi terkait pengaduan publik, termasuk masalah sengketa dan mafia tanah. Semua aduan yang masuk ke Komisi II kini bisa dilihat progresnya melalui situs Kementerian ATR/BPN,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rifqinizamy menyoroti persoalan hukum pertanahan dan tata ruang yang masih menjadi pekerjaan rumah besar. Salah satu contohnya adalah 2,5 juta hektare lahan sawit yang hingga kini belum memiliki legalitas hak guna usaha.
“Kami mendorong percepatan layanan dari Kementerian ATR/BPN terkait legalisasi ini. Untuk pelanggaran hukumnya, biar diselesaikan oleh Satgas Sawit yang dipimpin Menteri Pertahanan dan Jaksa Agung,” ujarnya.
Selain itu, Komisi II juga meminta penjelasan Menteri ATR/BPN terkait 34 titik lahan di wilayah laut yang telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM).
“Tidak semua bermasalah, ada yang sesuai tata ruang dan izin. Tapi kami ingin penjelasan agar publik tidak serta-merta menilai semua pensertifikatan lahan laut sebagai pelanggaran,” pungkasnya.
Editor: Redaktur TVRINews
