
Foto: Aksi demo ojek online (TVRINews/Nirmala Hanifah)
Penulis: Nirmala Hanifah
TVRINews, Jakarta
Pengemudi ojek online (ojol) akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut keadilan tarif pada Selasa, 20 Mei 2025 kemarin.
Dimana, aksi tersebut diapresiasi oleh Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) yang menilai jika hal itu merupakan bentuk partisipasi aktif dalam menyuarakan aspirasi secara konstruktif.
Selain itu, Modantara juga menilai bahwa mobilitas dan pengantaran digital merupakan tulang punggung dalam kehidupan masyarakat modern sekaligus motor penggerak ekonomi digital nasional.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menekankan bahwa setiap kebijakan yang menyangkut jutaan mitra dan pengguna harus dirumuskan berdasarkan data yang akurat dan kondisi lapangan, bukan semata-mata dorongan politik.
“Kami memahami keresahan para mitra. Namun, solusi harus lahir dari pemahaman atas realitas ekonomi, bukan sekadar narasi politik. Ekosistem ini telah menjadi penyangga sosial di masa krisis, sehingga kebijakan terkait harus mempertimbangkan dampak jangka panjang,” ujar Agung kutip Antara pada Rabu, 21 Mei 2025.
Terkait wacana komisi tunggal 10 persen untuk seluruh platform, Modantara menilai pendekatan ini mengabaikan keragaman model bisnis di industri.
Penyeragaman dianggap dapat menghambat inovasi, mengancam keberlanjutan layanan di wilayah marjinal, dan berpotensi menurunkan kualitas pelayanan.
Modantara juga menyoroti wacana reklasifikasi mitra menjadi karyawan tetap yang berisiko menghilangkan fleksibilitas kerja dan membuka potensi kehilangan jutaan lapangan kerja.
Merujuk studi Svara Institute (2023), kebijakan ini diperkirakan dapat menghapus hingga 90 persen pekerjaan di sektor terkait, dan menurunkan PDB nasional hingga Rp178 triliun.
“Jika perlindungan justru mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja, kita perlu bertanya ulang: siapa yang benar-benar terlindungi?” ungkap Agung.
Beberapa negara seperti Spanyol, Swiss, dan Inggris telah mengalami dampak serupa dari kebijakan reklasifikasi: lonjakan tarif hingga 30 persen, berkurangnya mitra aktif, hingga hengkangnya platform dari pasar.
Mengenai penyesuaian tarif, Modantara mendukung upaya peningkatan kesejahteraan mitra, namun menolak pendekatan seragam yang tidak memperhitungkan daya beli konsumen, biaya operasional, dan keragaman wilayah.
“Tarif tinggi tak ada gunanya jika konsumen tidak mampu bayar. Pendekatannya harus proporsional dan berbasis realitas lapangan,” kata Agung.
Modantara juga menyoroti perlunya regulasi baru yang sesuai dengan karakteristik layanan pengantaran berbasis aplikasi (On-Demand Services), yang saat ini masih diatur oleh UU Pos No. 38/2009. Regulasi lama ini dianggap sudah tidak relevan dengan dinamika layanan digital masa kini.
Pihaknya mendorong lahirnya ekosistem regulasi baru yang adaptif dan berbasis data, serta menolak pendekatan pengaturan pendapatan minimum yang tidak mempertimbangkan realitas pasar.
Pendekatan ini dinilai berisiko membatasi perekrutan mitra, menaikkan harga, dan mendorong mundurnya layanan dari wilayah-wilayah non-komersial.
Sebagai solusi, Modantara mendorong kebijakan berbasis insentif dan perlindungan sosial, termasuk skema pembiayaan UMKM, insentif pajak dan parkir, serta pelatihan kewirausahaan bagi mitra.
“ODS dan logistik konvensional punya karakter berbeda. Menyeragamkan tarif atau pendekatan akan menghambat inovasi dan mematikan industri secara perlahan,” tegas Agung.
Saat ini, sektor mobilitas dan pengantaran digital menyumbang sekitar 2 persen dari PDB nasional dan mendukung lebih dari 1,5 juta pelaku UMKM.
Baca Juga: Kembali Hadir! Samsat Keliling Siap Layani di 14 Wilayah Jadetabek
Editor: Redaktur TVRINews