Penulis: Krisafika Taraisya Subagio
TVRINews, Tokyo
Lebih dari 500 warga Jepang larut dalam atmosfer budaya Bali saat menghadiri Geinoh Yamashirogumi Festival Kecak 2025 yang digelar di kawasan Shinjuku, Tokyo, pada 30 Juli hingga 3 Agustus 2025. Festival tahunan ini menjadi ajang pelestarian dan promosi budaya Indonesia, khususnya Bali, di negeri Sakura.
Festival yang telah digelar ke-47 kalinya sejak 1976 ini menampilkan pertunjukan musik tradisional Bali seperti Jegog dan Gamelan, serta tarian Legong dan Kecak yang dibawakan oleh sekitar 100 warga Jepang. Suasana khas Bali begitu terasa, mulai dari gapura megah di pintu masuk, kain endek, payung tradisional, hingga pencahayaan magis yang menyulap area Gedung Mitsui di Shinjuku seakan berada di Pulau Dewata.
Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Tokyo, Maria Renata Hutagalung, mengapresiasi penyelenggaraan festival ini sebagai upaya memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada masyarakat Jepang.
"Festival ini bukan hanya menampilkan keindahan seni pertunjukan, tapi juga memperkuat jembatan persahabatan antara Indonesia dan Jepang," ujar Maria Renata yang diwakili oleh Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Tokyo, Muhammad Al Aula.
Tak hanya menampilkan budaya Bali, Festival Kecak 2025 juga menghadirkan seni lintas negara seperti Shishi Odori dari Jepang dan nyanyian polifonik khas Georgia dan Bulgaria, memperkuat semangat kolaborasi budaya global. KBRI Tokyo menyatakan komitmennya untuk terus mendukung kegiatan budaya seperti ini.
"Semoga festival ini terus berlanjut sebagai simbol kerukunan budaya dan mendorong kolaborasi lebih erat antara kedua bangsa," ucap Maria.
Sementara itu, Executive Director Geinoh Yamashirogumi, Akira Yajima, menjelaskan bahwa festival ini merupakan bentuk penghormatan terhadap seni pertunjukan komunal yang diwakili oleh Tari Kecak.
Tema yang diusung tahun ini adalah "A Festive Space Where Living Brains Outshine AI", menyoroti keunggulan ekspresi manusia melalui seni, di tengah perkembangan teknologi kecerdasan buatan.
"Festival ini lahir sebagai perlawanan terhadap kecenderungan masyarakat Jepang yang saat itu mulai menjauhi tradisi lokal akibat pengaruh modernisasi Barat. Kami ingin menunjukkan bahwa seni tradisional memiliki daya hidup dan relevansi di masa kini," ungkap Yajima.
Editor: Redaktur TVRINews