
Antara Foto/Aditya Pradana Putra
Penulis: Alfin
TVRINews, Jakarta
Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas setelah Presiden Donald Trump, yang baru kembali berkuasa, menaikkan tarif impor secara agresif terhadap produk-produk utama dari Tiongkok. Aksi balasan dari Beijing langsung menyusul, memicu kekhawatiran di pasar keuangan global.
Namun, Indonesia justru menunjukkan daya tahan ekonomi yang kuat di tengah gelombang tekanan global ini.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hanya melemah 0,8% dalam periode 2 hingga 8 April 2025. Dibandingkan negara lain seperti Brasil (-4,5%), Meksiko (-2,2%), atau bahkan Euro dan Yen yang masing-masing melemah lebih dari 1%, rupiah tergolong stabil.
"Nilai tukar rupiah relatif stabil meski ada pelemahan, tetapi dibandingkan negara lain seperti Jepang, kita masih lebih baik," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Di pasar saham, IHSG terkoreksi -7,8% selama periode yang sama. Namun dibandingkan negara lain, performa ini masih cukup baik. Argentina tercatat turun -14%, Vietnam -13,8%, Italia dan Jerman masing-masing merosot lebih dari -10%.
"Investor portfolio merespons negatif kebijakan RRT. Kita semuanya hari ini adalah hari pertama pembukaan bursa dan kita sudah melihat Indonesia tadi sesi yang kedua di bawah 8%," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa, 8 April 2025.
Berbeda dengan negara-negara lain yang mencatat penurunan imbal hasil obligasi, Indonesia justru mencatat kenaikan yield sebesar 9 basis poin. Ini menandakan adanya aliran dana masuk (inflow), bukti bahwa investor global tetap percaya terhadap instrumen utang RI.
Negara lain seperti Jepang dan Arab Saudi masing-masing mencatat penurunan yield hingga 24 dan 20 basis poin, menunjukkan lonjakan permintaan karena aksi pindah ke aset aman (flight to safety).
Kebijakan tarif AS bertujuan melindungi industri dalam negerinya. Namun langkah ini dibalas oleh Tiongkok, meningkatkan tensi dagang dan memicu kekhawatiran pasar. Akibatnya, harga barang impor melonjak, inflasi berisiko naik, dan perdagangan global bisa melambat.
Negara berkembang yang bergantung pada ekspor dan arus modal asing menjadi yang paling terdampak.
Meski IHSG terkoreksi dan rupiah melemah, kinerja pasar obligasi membuktikan bahwa investor global masih percaya pada fundamental ekonomi Indonesia. Inflasi yang rendah, cadangan devisa kuat, dan prospek pertumbuhan yang stabil jadi modal penting.
"Saya akui memang jauh lebih baik, sebab market merespon positif resiliensi perekonomian Indonesia," kata Analis Mirae Asset, Nafan Aji Gusta Utama.
Ke depan, koordinasi erat antara kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan diperlukan untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan investor di tengah ketidakpastian global.
Editor: Redaktur TVRINews
