
Banyak Penggilingan Padi Tutup, Mentan: Kapasitas Lebih Besar dari Produksi
Penulis: Krisafika Taraisya Subagio
TVRINews, Jakarta
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan penyebab di balik banyaknya penggilingan padi yang berhenti beroperasi.
Menurutnya, kondisi ini bukan fenomena baru, melainkan sudah berlangsung lama akibat ketidakseimbangan antara kapasitas giling dan jumlah produksi padi nasional.
Lebih lanjut Amran menjelaskan, saat ini terdapat tiga klasifikasi penggilingan padi, yakni kecil, menengah, dan besar. Data Kementan mencatat, jumlah penggilingan kecil mencapai 161 ribu unit, menengah 7.300 unit, dan besar sekitar 1.065 unit. Kapasitas giling dari kelompok kecil saja sudah mencapai 116 juta ton per tahun, sedangkan produksi padi Indonesia hanya sekitar 65 juta ton.
"Kalau kapasitas 116 juta ton, sementara produksi hanya 65 juta ton, tentu saja banyak mesin yang idle," kata Amran dalam keterangan tertulis, Sabtu, 16 Agustus 2025.
Selain faktor kapasitas, Amran menyebut pola musim tanam juga memengaruhi aktivitas penggilingan. Mayoritas produksi padi terjadi di semester pertama (Januari–Juni) dengan kontribusi sekitar 70 persen dari total panen nasional.
Akibatnya, pada semester kedua pasokan gabah berkurang drastis sehingga banyak penggilingan terpaksa berhenti sementara. Persaingan harga dengan penggilingan besar juga mempersempit ruang gerak pemain kecil.
"Kalau yang kecil beli gabah Rp6.500, yang besar bisa Rp6.700. Begitu yang kecil ikut Rp6.700, yang besar naik lagi jadi Rp7.000. Artinya, yang kecil makin tertekan," jelasnya.
Meski begitu, Amran melihat dinamika pasar akhir-akhir ini memberi harapan baru. Ia mencontohkan, turunnya penjualan beras premium di ritel modern justru meningkatkan permintaan di pasar tradisional, sehingga penggilingan kecil kembali mendapatkan pasokan.
"Setelah ada pengurangan premium di supermarket modern, penjualan di pasar tradisional naik. Itu jadi berkah bagi penggilingan kecil," ujarnya.
Selain itu, Amran juga menyinggung soal harga beras yang masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Ia menyebut ada praktik curang yang membuat harga melambung tidak wajar, meski kini tren harga mulai turun di sejumlah daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Kemudian, Amran menepis anggapan bahwa tingginya harga beras dipicu penyerapan besar oleh Bulog.
"Bulog hanya menyerap sekitar 8 persen dari total beras. Selebihnya, 92 persen dikuasai swasta," tegasnya.
Dengan kapasitas terpasang hingga 165 juta ton, sementara stok beras nasional tahun ini hanya sekitar 23 juta ton, Amran menilai kondisi ketidakseimbangan memang sulit dihindari. Namun ia optimistis struktur pasar baru akan terbentuk dan memberi ruang lebih adil bagi penggilingan kecil.
Editor: Redaksi TVRINews
