
Hari Perempuan Internasional, Menag Ingatkan Masih Banyak Penafsiran Agama yang Bias Gender
Penulis: Intan Kw
TVRINews, Jakarta
Menteri Agama (Menag) RI Nasaruddin Umar menyatakan pemberdayaan perempuan yang telah dicapai saat ini masih belum cukup.
Ia menyebut laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah di muka bumi, sehingga agama harus menjadi faktor penguatan martabat perempuan.
“Saya ingin mengimbau kepada kita semua, mari kita memperbaiki penafsiran-penafsiran Al-Qur’an yang bias gender. Mari kita memahami kembali redaksi yang dipahami melalui teks-teks hadits. Kita sangat yakin bahwa Allah SWT sama dengan Rasullulah tidak membedakan laki-laki dan perempuan,” kata Nasaruddin Umar dalam Webinar Internasional “Perempuan dan Pendidik sebagai Pilar Perdamaian: Kesetaraan Gender dalam Membangun Kohesi Sosial”, Kamis, 6 Maret 2025.
Nasaruddin mengatakan laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk aktif menjadi pemimpin baik dalam rumah tangga bahkan pemimpin publik atau negara. Ia menyebut banyak ayat Al-Qur’an menunjukkan kepemimpinan seorang perempuan, misalnya Ratu Balqis sebagai penguasa Kerajaan Saba yang kepemimpinannya meraih predikat yakni negerinya menjadi indah di bawah ampunan Tuhan.
Nasaruddin menambahkan kepemimpinan perempuan juga ditunjukkan oleh Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW, yang merupakan bangsawan, menjadi kepala rumah tangga saat mereka berada di Mekah. Dalam salah satu ayat lainnya, laki-laki disebut sebagai pelindung bagi perempuan (QS An-Nisa ayat 34).
“Berhentilah mendeskriditkan perempuan atas nama agama. Saatnya sekarang kita berusaha mencari cara bagaimana mendayagunakan perempuan sebagai salah satu kekuatan bangsa, terutama untuk Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Direktur HAM dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI, Indah Nuria Savitri, mengatakan perdamaian akan lebih berkelanjutan ketika perempuan berpartisipasi secara aktif dalam proses pencapaiannya.
Perserikatan Bangsa-bangsa memiliki dua instrumen dalam menjamin kesetaraan gender dan mendorong perempuan sebagai agen-agen perdamaian, yaitu Beijing Declaration and Platform for Action (1995) dan UN Security Council Resolution (UNSCR) 1325 on Women, Peace, and Security (2000).
“Dari data, 35% kesepakatan perdamaian dapat bertahan setidaknya selama 15 tahun jika perempuan aktif terlibat. Ini menunjukkan kehadiran perempuan dalam suatu proses perdamaian, dalam diplomasi, bukan hanya simbolis, tapi menjadi suatu kebutuhan,” pungkasnya.
Editor: Redaktur TVRINews
